Presiden Jokowi Minta RUU Perampasan Aset Segera Diselesaikan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset segera diselesaikan. Kepala Negara meyakini UU Perampasan Aset dapat memberikan efek jera kepada koruptor.
"Menurut saya, UU Perampasan Aset Tindak Pidana ini penting segera diselesaikan. Karena ini adalah sebuah mekanisme untuk pengembalian kerugian negara dan bisa memberikan efek jera," kata Presiden Jokowi dalam acara Puncak Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2023 yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (12/12/2023).
Presiden Jokowi beharap pemerintah bersama DPR segera membahas dan menggodok RUU Perampasan Aset ini. Sehingga nantinya RUU tersebut bisa segera menjadi UU. Selain RUU Perampasan Aset, Presiden Jokowi juga mendorong UU Pembatasan, UU ini bertujuan agar transfer perbankan transparan dan akuntabel.
"Kemudian, juga UU pembatasan transaksi uang kartal, yang mendorong pemanfaatan transfer perbankan. Semua akan lebih transparan, lebih akuntabel, juga sangat bagus," ucapnya.
Dalam acara ini, Presiden Jokowi juga mengajak semua pihakb ersama-sama mencegahtindak pidana korupsi. "Dan bisa memberikan efek jera kepada para pejabat yang melakukan korupsi," katanya.
Sebelumnya Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan, Indonesia memiliki landasan Undang Undang untuk menindak terdakwa korupsi dengan perampasan aset. Hal itu dilakukan meski UU Perampasan Aset belum disahkan.
"Saya diminta bicara pelaksanaan implementasi konvensi internasional tentang tindakan atau kebijakan antikorupsi yang dikenal sebagai United Nations Against Corruption (UNAC). Saya ditanya, 'untuk melaksanakan UNAC itu bagaimana, pak, tentang Rancangan Undang Undang Perampasan Aset?'" kata Mahfud saat menghadiri seminar menjelang Harkordia 2023 di KPK, Senin (13/11/2023).
"Saya katakan, untuk pemerintah, Rancangan Undang Undang (RUU) Perampasan Aset itu, sudah selesai prosesnya. Karena sudah disampaikan ke DPR, pada tanggal (4/5/2023).".
Menurutnya, sudah beberapa bulan pemerintah menyampaikan RUU Perampasan Aset. "Tetapi, karena DPR sibuk, itu belum diagendakan untuk dibahas, mungkin," ujar Mahfud.
"Tetapi, saudara, sebenarnya untuk langkah langkah perampasan aset bagi korupsi itu. Tanpa undang undang itu, selama ini pun kita juga sudah melakukan."
Sebab, kata dia, KPK dan Kejaksaan Agung sudah banyak merampas aset para koruptor. "Misalnya, kalau KPK semula menjadikan seseorang menjadi tersangka hanya dengan dakwaan korupsi atau gratifikasi sekitar Rp1-3 Miliar," ujar dia.
"Nanti, di dalam parktiknya, bisa jadi tuntutannya itu, atau temuannya itu bisa Rp100 Miliar lebih. Seperti yang terjadi di Papua Barat dan lain-lainnya."
"Kemudian, asetnya dirampas, jadi, perampasan aset itu, tanpa RUU Perampasan Aset yang berdiri sendiri. Itu sudah ada instrumen hukumnya, meskipun belum begitu terinci." (*)